WELCOME TO CRIMINAL (153 MALAM -BAG.2-)
Sebelumnya.... 153 Malam (Bag.1-True Story-)
____________
Hari itu ana resmi ditahan di sebuah Rutan (Rumah Tahanan) di salah satu Polres. Ana terjerat kasus pencemaran nama baik seorang Habib dan Undang-undang ITE. Setelah ana selesai menandatangani Surat Penahanan, ana pun dibawa oleh salah seorang penyidik (polisi) menuju kamar tahanan yang tidak jauh dari ruangan tempat ana diproses. Berat langkah ana menuju kamar tahanan tersebut, sedangkan hati saat itu terasa berdebar-debar karena sesaat lagi ana akan merasakan suatu kehidupan yang belum pernah ana rasakan seumur hidup ana, kehidupan yang dapat merubah segalanya, kehidupan yang hanya ada di angan-angan, namun sesaat lagi akan menjadi kenyataan. Adapun keluarga ana, yaitu istri, orangtua dan kedua anak ana yang masih kecil tampak sedih mengiringi langkah ana menuju kamar tahanan itu. Ana berusaha untuk tenang dan tidak menampakan kesedihan agar keluarga ana tidak semakin larut dalam kesedihannya. Ana tidak membawa apapun ke ruang tahanan, yang ana bawa hanya pakaian yang menempel di badan.
Akhirnya sampailah ana di depan kamar
tahanan. Kamar tahanan itu dijaga oleh beberapa petugas polisi. Penyidik yang
membawa ana memberikan surat penahanan kepada petugas tersebut. Setelah itu
sang petugas memberitahukan kepada ana tentang segala peraturan di dalam kamar
tahanan, diantaranya adalah pakaian yang boleh dibawa masuk maksimal 2 stel
yaitu 1 stel yang menempel di badan dan 1 stel yang disimpan, tidak boleh
memakai baju lengan panjang dan celana panjang (termasuk sarung), jadi wajib
memakai celana pendek, dilarang memiliki uang, alat komunikasi (termasuk hp),
merokok, memakai alas kaki, senjata tajam atau yang dapat melukai (seperti
besi, pecah belah), berkelahi, dsb. Petugas menyuruh membuka jaket dan celana
panjang yang ana kenakan sekaligus memeriksa seluruh badan ana. Ana katakan
kepada petugas, “Bagaimana saya shalatnya pak?” Petugas menjawab, “Kamu pakai
celana pendek, ini peraturan dan darurat, kalau kamu tidak punya celana pendek
maka celana panjang kamu akan saya gunting jadi celana pendek!” “Baik pak, saya
punya celana pendek…” jawab ana, untung saja ana memakai celana pendek untuk
dalaman yang panjangnya dibawah lutut, sehingga ana masih bisa menutupi paha
dan lutut ana. Tinggallah kaos dan celana pendek yang ana miliki saat itu
sebagai bekal selama ana di dalam tahanan. Ana sudah tidak peduli lagi terhadap
apa yang ana miliki, yang ana pedulikan saat itu adalah keselamatan untuk diri
ana dan keluarga ana yang ditinggalkan. Selama ini ana hanya mendengar tentang
cerita atau pengalaman orang yang masuk penjara berupa cerita-cerita yang
menakutkan dan menyedihkan, cerita yang tidak jauh dari penindasan dan
pemerasan. Akankah hal itu ana alami sesaat lagi?
Petugas mengantar ana sampai ke depan
pintu kamar tahanan, pintu yang terbuat dari jeruji besi yang tergembok besar.
Petugas membuka pintu itu dan menyuruh ana masuk ke dalamnya. Ana pun
memasukinya dan pintu itu ditutup kembali. Ana telah pasrah terhadap apa yang
akan terjadi pada diri ana nanti. Ana sekarang sudah berada di dalam sebuah
kehidupan yang selama ini hanya angan-angan dan hanya ana lihat di media atau
film saja. Ana akan hidup bersama para penjahat-penjahat dan tinggal bersama
mereka entah sampai kapan, padahal selama ini ana selalu menjauhi dan membenci
perbuatan mereka. Suasana mulai terasa menyeramkan dan menegangkan. Ana
langkahkan kaki ini pelan-pelan untuk masuk ke dalam kamar tahanan itu. Masih
berupa lorong yang panjangnya hanya beberapa meter saja. Rupanya masih ada pintu
jeruji besi lagi yang harus ana masuki di dalam lorong itu untuk menuju ke
dalam kamar tahanan. Ana pun menghampiri pintu itu untuk mengetahui isi dibalik
pintu tersebut.
Ketika ana mendekati pintu tersebut,
rupanya dibalik pintu itu sudah dipenuhi oleh para tahanan yang telah menanti
kedatangan ana. Jumlah mereka sangat banyak, ada sekitar 50 orang lebih. Mereka
memenuhi disetiap sisi untuk melihat dan menyambut kehadiran ana. Ana melihat
wajah-wajah mereka sangat menyeramkan, bahkan lebih seram dari hantu menurut
ana. Mereka memasang wajah yang sedang marah dan menakut-nakuti, sama sekali
tidak ada kesan ramah, apalagi senyuman. Mata-mata mereka melotot menatapi ana
seolah-olah ana adalah santapan mereka. Ditambah lagi hal yang sangat
menegangkan adalah, mereka semua mengeluarkan suara-suara teriakan dan
kata-kata kotor atau umpatan, seolah-olah mereka akan mengeksekusi ana. Seperti
masuk ke dalam kandang binatang buas, atau hutan belantara, bahkan menurut ana
ini lebih menyeramkan dari hutan belantara. Ana sudah terbiasa masuk ke dalam
hutan belantara dalam segala kondisi, ketika malam hari, hujan deras,
sendirian, dan lainnya, tapi tidak menyeramkan seperti ana masuk ke dalam kamar
tahanan ini. Suasana saat itu begitu berisik karena teriakan-teriakan mereka
yang menakut-nakuti ana, juga mengumpat atau mencela ana dengan kata-kata kotor
dan penghinaan. Sekilas ana perhatikan wajah-wajah mereka, terlihat wajah-wajah
yang tidak bersahabat, terkesan angker, gelap (tidak bercahaya). Kebanyakan
dari mereka tubuh-tubuhnya dipenuhi oleh tatto, dari badan, tangan maupun kaki,
bahkan ada yang seluruh tubuh (kecuali wajah). Karena tatto bagi mereka
(narapidana atau penjahat) adalah hal yang biasa, sebagian mereka menganggap
tatto adalah karya seni, dan sebagian lagi menganggap tatto agar berkesan macho
atau seram. Tubuh mereka juga besar-besar, banyak yang lebih besar tubuhnya
dari ana, layak seperti seorang preman atau bodyguard, atau memang mereka
preman asli.
Kejadian ini benar-benar menguji nyali
ana. Baru kali ini ana berhadapan dengan para narapidana atau penjahat. Dalam
pikiran ana hanya ada dua opsi, yaitu: Pertama, melawan mereka dengan resiko
ana bakalan babak belur oleh mereka karena perbandingannya adalah satu banding
lima puluh, itu adalah opsi yang konyol menurut ana, walaupun opsi ini terkesan
menantang dan lebih berani. Opsi kedua, yaitu tunduk mengalah dan mengikuti
mereka demi keselamatan. Opsi ini menurut ana terlalu memalukan bagi seorang
laki-laki yang punya harga diri, kenapa harus tunduk kepada orang-orang zhalim
seperti mereka?! Namun apa daya saat itu ana tidak memiliki kemampuan memilih
opsi yang pertama. Apakah ada opsi yang lain? Opsi ketiga adakah? Opsi ketiga
adalah kabur dari mereka. Opsi ini sangat mustahil dilakukan. Bagaimana caranya
agar bisa kabur dari mereka? Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari mereka,
semua tertutup oleh tembok dan jeruji besi. Ana pun mencoba untuk mencari opsi
yang lain, yaitu opsi yang keempat, perpaduan antara opsi pertama dengan opsi
kedua, yaitu mengalah dan mengikuti mereka selama mereka tidak menyuruh berbuat
maksiat, seandainya mereka menyuruh ana untuk berbuat maksiat, maka ana lihat
sesuai kemampuan ana, semoga saja ana mampu menghadapi dan melawan mereka,
insya Allah. Tidak lupa juga lisan ana tidak berhenti dari berdzikir kepada
Allah agar Allah memberikan perlindungan ke ana.
Kini ana telah berada ditengah-tengah
mereka, dan mereka semuanya mengerumuni ana. Ana ucapkan kepada mereka
“Assalamu alaikum”, sebagian mereka ada yang menjawab salam ana. Beberapa orang
dari mereka membentak ana “Jongkok loe!!…Ayo jongkok!!”. Ana pun mengikuti
perintah mereka untuk jongkok. Kemudian mereka menyuruh ana jalan sambil
jongkok menuju kamar yang akan ana tempati. Ana pun jalan sambil jongkok
melewati mereka menuju kamar. Sambil melewati ana mencoba untuk bersalaman
dengan mereka. Sebagian dari mereka ada yang mau bersalaman dengan ana, dan
sebagian yang lain menolak bersalaman dengan ana, bahkan mereka membentak “Udah
jalan sana!!!” Benar-benar ana dihinakan di hadapan mereka. Namun sampai saat
itu belum ada yang ‘mencolek’ ana. Sambil jalan jongkok, ana melewati mereka
satu persatu, mereka tidak henti-hentinya membentak ana, ana hanya mampu
melihat kebawah dan tidak melihat wajah mereka (khususnya mata) karena itu sama
saja menantang mereka. Disebuah dinding ana lihat sebuah coretan tangan yang
tertulis “Welcome to Criminal”.
Sampailah ana di dalam kamar yang akan
ana tempati. Sebuah kamar yang tidak begitu luas, hanya berukuran sekitar 5m x
3m, berisikan sekitar 15 sd 20 orang tahanan. Di Rutan yang ana tempati
terdapat 4 kamar tahanan, masing-masing kamar diisi 15 sd 20 orang tahanan dari
segala macam kejahatan. Sedangkan ana menempati kamar no.3. Ketika ana masuk ke
dalam kamar tersebut, ana lihat beberapa orang tahanan yang sedang melakukan
aktivitas masing-masing, diantaranya ada yang sedang memijat seseorang layaknya
seorang boss (dan itulah kepala kamarnya atau KM), ada juga yang sedang jadi
kipas atau baling-baling dengan berdiri sambil mengibaskan sepotong kain
seperti baling-baling agar kamar tidak panas, ada juga beberapa orang yang
duduk jongkok disudut kamar layaknya seorang yang dihukum, dan yang lainnya
mengelilingi ana. Setelah itu ana dihadapkan ke KM (Kepala Kamar) untuk
diintrogasi. Beberapa tahanan yang senior menemani KM mengintrogasi ana. Mereka
mengintrogasi ana dengan kasar, namun tidak sampai memukul. Mereka menanyakan
semuanya tentang ana, dari indentitas sampai kasus yang ana alami. Hingga
mereka semua tahu tentang jati diri ana dan kasus yang ana alami yaitu
pencemaran nama baik seorang Habib. Biasanya setiap tahanan yang masuk dan
diintrogasi akan mengalami penindasan dari penghuni kamar, namun Alhamdulillah
sampai sejauh ini belum ada seorang pun yang memukul ana.
Salah seorang dari mereka menyuruh ana
untuk membuka baju/kaos yang ana pakai. Awalnya ana keberatan untuk membuka
baju ana, dan ana memberanikan diri untuk menolak perintah mereka khawatir ana
akan dizhalimi oleh mereka jika ana membuka baju. Tapi mereka tetap memaksa ana
untuk membuka baju, dan ana tetap bersikap untuk menolaknya, apalagi itu hanya
satu-satunya baju yang ana miliki saat ini. Kemudian salah seorang dari mereka
berkata, “Kami mau lihat loe ada tattonya apa tidak!” Rupanya itu alasan mereka
kenapa mereka menyuruh ana membuka baju. Ana pun akhirnya bersedia membuka
baju, dan ana perlihatkan badan ana ke mereka kalau ana tidak memiliki tatto,
kemungkinan jika ana memiliki tatto akan ada hadiah dari mereka untuk ana
berupa “bogem mentah”. Mereka pun percaya kalau ana tidak memiliki tatto, tapi
mereka malah mengambil kaos ana, padahal kaos tersebut adalah kaos yang ana
sukai yaitu kaos dari komunitas pecinta alam. Ana tanya kenapa kaos ana
diambil? Mereka menjawab, kaos tersebut mau dicuci dulu (dikira mereka kaos itu
kotor) dan mereka memberikan kaos yang lain ke ana untuk dipakai. Tidak masalah
bagi ana, ana pun memakai kaos pemberian mereka.
Selang beberapa menit kemudian, masuk
“Kijang Baru” (Tahanan Baru) ke dalam kamar kami, dia terkena kasus Narkoba.
Tidak beda dengan apa yang ana alami tatkala dia masuk ke dalam kamar tahanan,
disuruh jalan jongkok, dibentak-bentak, diintrogasi, dll. Kijang Baru itu
ditempatkan di sebelah ana dengan posisi jongkok di lantai. Kemudian KM
menyuruh ana untuk pergi atau pindah ke ruangan lain, dan membiarkan kijang
Baru itu berada di tempatnya. Tidak tahu apa maksud mereka menyuruh ana pindah
ke ruangan lain, tapi untuk sementara ana ikuti kemauan mereka. Setelah ana
berada di ruangan yang lain, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti
suara pukulan, berulang-ulang suara pukulan itu terdengar. Ana menyangka bahwa
Kijang Baru itu sedang ‘Disekolahkan’ oleh mereka. Setelah selesai mereka
menyekolahkan Kijang baru itu, ana pun disuruh kembali ke kamar semula. Ketika
ana masuk ke dalam kamar, ana lihat Kijang Baru itu sedang terkapar di lantai
kesakitan akibat ‘Disekolahkan’ oleh mereka. Ana merasa iba melihatnya, tapi
inilah penjara. Ana bersyukur kalau ana tidak mengalami kejadian itu,
Alhamdulillah.
Tidak beberapa lama masuk waktu shalat
maghrib. Serentak para tahanan mempersiapkan diri untuk shalat maghrib, dan ada
juga beberapa dari mereka yang tidak shalat karena malas. Shalat maghrib kala
itu diimami oleh seorang ustadz yang disegani di Rutan ini, sesama tahanan
juga. Dia lah ustadz yang terkena kasus menikahi wanita dibawah umur dan tanpa
wali, pesantren yang dia miliki pernah dibakar oleh massa, inisialnya adalah
ust.FA. Posisi ana shalat berada di shaf pertama tepat dibelakangnya imam.
Setelah shalat seperti biasa sang imam melakukan amalan-amalan yang biasa
dilakukan oleh kebanyakan masyarakat di kita, yaitu dzikir jama’i, doa jama’i,
dan salam-salaman. Dikarenakan ana tidak melakukan amalan-amalan seperti itu,
maka ana cukup mengamalkan apa yang ana amalkan sendiri. Rupanya diam-diam sang
imam memperhatikan apa yang ana lakukan, dan dia merasa kecewa kalau ana tidak
mengikutinya. Setelah selesai, sang imam atau ust. FA menegur ana kenapa ana
tidak mengikutinya? Ana katakan bahwa ana hanya mengamalkan apa yang ana tahu
dalilnya dan biasa ana amalkan. Mendengar jawaban seperti itu ust.FA marah dan
berkata, “Biasanya yang tidak mau dzkir mengeraskan suara dan jama’i, tidak mau
berdoa mengangkat tangan, dll itu adalah aliran Wahhabi, aliran Salafi,
sesat!!!” Ana kaget mendengar ucapan ust.FA. Dia pun berkata lagi dengan suara
keras dan marah di depan seluruh jamaah atau tahanan, “Saya tahu kasus yang
kamu lakukan. Kamu telah menghina Habib Fulan! Dia itu ulama, keturunan Nabi!
Kamu jangan berdusta di tempat ini yang membuat kamu akan semakin bermasalah…
Sekarang kamu mau tahu, kalau saya adalah murid dari Habib Fulan yang kamu
cemarkan!!! Berarti kamu juga telah menghina guru saya!!” Ust. Fulan terus
memprovokasi jama’ahnya dan memfitnah ana, sehingga suasana saat itu semakin
ramai. Seluruh tahanan berdatangan mendatangi kami menyaksikan apa yang sedang
terjadi, dan mereka semuanya mengelilingi ana. Ana saat itu tidak mampu
bertindak dan hanya mendengarkan ucapan ust.FA yang terus memprovokasi jama’ah
sehingga semua tahanan menjadi marah dan mendukung ust.FA. Suasana semakin
gaduh dan ramai, suara-suara teriakan mulai terdengar seperti kejadian ketika
ana masuk tahanan. Para tahanan sudah sangat emosi dan marah terhadap ana,
mereka berteriak-teriak ingin menghabisi ana. “Ayo hajar saja!…Bunuh saja! Awas
ini aliran sesat! Cepat habisi orang ini!!!” dan ucapan-ucapan lainnya. Kondisi
ana semakin tegang, ana pasrah terhadap apa yang akan terjadi pada diri ana.
Puluhan orang tahanan siap menyantap ana pada saat itu. Hanya kepada Allah saja
ana berlindung dan meminta pertolongan kala itu…
Ibarat keluar dari mulut harimau masuk ke
mulut buaya. Selamat dari level pertama di dalam kamar tahanan, sekarang masuk
ke level kedua, akankah ana selamat pada saat itu? Ana tidak menyangka akan
bertemu salah seorang dari murid Habib Fulan yang ana cemarkan di dalam tahanan
ini. Apalagi ustadz tersebut memiliki sifat yang arogan dan memanfaatkan
kondisi yang mendukung. Ana tidak menyangka setega itu dia bersikap terhadap
ana. Ust.FA adalah orang yang disegani oleh para tahanan, sehingga jika dia
meminta sesuatu kepada salah seorang tahanan akan dituruti dan ditaati.
Sekarang dia siap untuk menghabisi ana dengan fitnahnya dan kezhalimannya. Dan
semua tahanan mendukung ustadz tersebut…
Kondisi semakin parah, bahkan lebih parah
dari sebelumnya. Waktu berjalan tidak sesuai dengan apa yang ana inginkan. Ana
tinggal menunggu detik-detik penghabisan…pasrah terhadap kejadian ini…tidak ada
yang dapat menolong ana saat itu kecuali Allah Azza wa Jalla…akankah nasib ana
akan seperti Kijang Baru itu yang terkapar kesakitan?
Bersambung, insya Allah…
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid.
Ket: Foto diatas hanya illustrasi.
0 Response to "WELCOME TO CRIMINAL (153 MALAM -BAG.2-)"
Post a Comment