Ustadz Mahmud + Ust Ihya [Cerita Untuk Pembaca]
Ustadz Mahmud +
Ust Ihya [Cerita Untuk Pembaca]
Adalah seorang
ustadz berasal dari Indonesia Bagian Timur yang dahulu ketika di pondok adalah
orang yang selalu saya hindari, juga teman-teman. Karena beliau dahulu sangat
tegas. Sekitar satu jam sebelum adzan Subuh, beliau sudah teriak-teriak
membangunkan kami shalat. Ketika itu saya masih kelas 3 SMP.
Pondok kami
terletak di kaki Gunung Merbabu. Jangankan malam, siang pun dingin. Namun
karena tersiram sinar matahari, menjadi sejuk. Namun, ustadz yang satu itu, di
tahun itu, semangat sekali membangunkan kami. Saya dan teman-teman se-aliran,
selalu menggerutu.
Kami tidak
menyukainya. Geram melihat beliau. Paling minimal, kami mengucapkan 'ck'
sebagai ekspresi kekecewaan dan kesebalan. Dan beliau tahu banyak santri tidak
menyukainya. Namun, beliau tetap tegas.
Saya pun lulus.
Keluarlah dari pondok.
3 tahun setelah
lulus, tahun 2008, saya bersama teman-teman kampus ziarah ke rumah beberapa
teman. Lalu saya sempatkan pula ke pondok. Di tahun itu, adik saya berjumlah 3
buah masih menimba ilmu di sana. Wajah-wajah asing cukup banyak.
Pagi itu saya di
pondok. Saya bertemu dengan seorang ustadz yang dahulu ketika saya masih kelas
1 SMP berjasa sekali rela mengantarkan ke kota untuk membeli kacamata. Beliau
adalah Ust. Ihya; seorang guru bela diri pondok. Beliau kini tinggal kenangan
yang tak terlupa; karena telah wafat beberapa tahun lalu. Kecelakaan.
Rahimahullah. Ust. Ihya, adalah orang yang pertama kali bertemu, menyambut dan
membawa saya ke kantor. Beliau memeluk saya. Cipika-cipiki. Terasa getaran
jenggotnya menyentuh pipi saya. Saya tentu tak tahu beberapa masa kemudian
ustadz ini hanya tinggal kenangan. Rahimahullah.
Lalu ia
menggiring saya masuk ke dalam kantor. Di sana bertemu Ust. Ayatullah, seorang
hafidz, lulusan pondok saya. Juga bertemu Ust. Mahmud, orang yang dulu sangat
tidak saya sukai. Kami bertiga berbincang.
Ust. Mahmud
selalu mempertanyakan apakah saya masih suka menulis. Berulang seperti itu.
Beliau tahu dahulu saya suka menulis; namun buku hasil karya tulisan saya
selalu disita olehnya dan pihak Kesantrian. 'Isinya nyeleneh', kata para
ustadz.
Saya berfikir
untuk apa ustadz satu ini bertanya begitu? Apa perlunya? Apa peduli dia? Tapi,
saya melihat sorot mata dan bahasa tubuhnya tak sedikitpun mengisyaratkan ingin
mengejek atau apapun yang negatif. Justru beliau benar-benar memotivasi saya
untuk menulis lagi seperti dulu. Beliau berbicara...panjang lebar. Saya
mendengarkan seksama.
Masa-masa
setelah lulus, saya tidak menulis. Dan ketika beliau menasihati saya, tepat di
masa saya berfikir, 'Menulis tidak ada guna dan tidak ada celah dibaca kecuali
di majalah...atau koran.'
Namun beliau lah
orang yang memotivasi saya. Nasihat beliau saya ingat dan fikirkan selama 2
tahun lebih! Terngiang, 'Mengapa kamu masih tidak menulis?' Dan hingga kini
saya tidak akan lupa ngototnya beliau memotivasi saya kala itu.
Yang akhirnya tahun
2011 saya memulainya kembali. Melihat ada celah melalui situs ini. Menulis agar
dibaca manusia; bukan sekadar simpanan. Yang kini, jika ada siapapun yang
mengambil manfaat dari tulisan saya, adalah pemberian Allah, dan juga tak
luput, Ust. Mahmud lah yang di baliknya berjasa. Padahal dahulu, semasa saya
sekolah, saya benar-benar tidak ingin melihat wajah beliau.
Lalu, hari Ahad
2 pekan lalu, saya pergi menuju Taman Mini, dengan niatan menjual karya seni
emak saya. Dan memang kebetulan ada pameran pondok saya. Saya pun beranjak ke
lantai dua. Bertemulah dengan stan pondok saya. Dan saya melihat Ust. Mahmud di
sana, orang yang 10 tahun lalu saya tidak senangi, 4 tahun lalu memotivasi, dan
tahun ini tak mengharap kembali. Pertanyaan pertama yang ia lontarkan adalah
'Antum sudah menulis, belum?'.....
Saya katakan,
"Saya punya banyak tulisan sudah!"
Beliau bertanya,
"Buku atau apa?"
"Bukan
buku. Tulisan di Internet."
"Di
mana?"
"Di
Facebook."
dan sepertinya
memang beliau tidak punya akun Facebook.
Sepertinya pula
saya merasa beliau berhak diceritakan di sini; sebab lisan beliau lah yang
pertama kali memotivasi saya untuk kembali menulis seperti dulu.
Bisa saja, kau
mendapat sesuatu yang amat berharga dan membangkitkan keterpurukanmu dari orang
yang dahulu kau benci.
Bisa juga, kau
mendapat rasa sakit yang amat menghiris dan menurunkan segala spiritmu dari
orang yang sebelumnya kau suka dan kau puja.
Bisa saja,
seseorang sangat bagus merangkai kalimat sebagai nasihat, namun di mata manusia
hanya sebagai kelezatan sejenak, karena memang sang perangkai tak ikhlas dalam
memberi nasihat.
Bisa saja,
seseorang tidak bagus merangkai kalimat nasihat, namun sorot matanya mewakili
hati yang tulus memberi; membuatmu benar-benar bergumam, 'Inilah yang lama kurindukan.'
Sebagaimana Ust.
Mahmud, yang beliau sendiri tak tahu tulisan ini. Beliau pun tak tahu, berawal
dari motivasinya lah kini saya menulis.
Sebagaimana
mungkin ayah dan ibumu, yang mungkin kau lebih pintar darinya, mereka berdua
ketika menasihatimu, benar mengena. Seolah mereka tak membutuhkan lisan
berbicara, tetapi cukup hati...
Semoga Allah
limpahkan pahala kepada Ust. Mahmud
Semoga Allah
rahmati Ust. Ihya
dan semua
asaatidzah pendidik
serta merahmati
kaum muslimin
0 Response to "Ustadz Mahmud + Ust Ihya [Cerita Untuk Pembaca]"
Post a Comment