Ustadz Mahmud + Ust Ihya [Cerita Untuk Pembaca]

By: Hasan Al-Jaizy

Ustadz Mahmud + Ust Ihya [Cerita Untuk Pembaca]

Adalah seorang ustadz berasal dari Indonesia Bagian Timur yang dahulu ketika di pondok adalah orang yang selalu saya hindari, juga teman-teman. Karena beliau dahulu sangat tegas. Sekitar satu jam sebelum adzan Subuh, beliau sudah teriak-teriak membangunkan kami shalat. Ketika itu saya masih kelas 3 SMP.

Pondok kami terletak di kaki Gunung Merbabu. Jangankan malam, siang pun dingin. Namun karena tersiram sinar matahari, menjadi sejuk. Namun, ustadz yang satu itu, di tahun itu, semangat sekali membangunkan kami. Saya dan teman-teman se-aliran, selalu menggerutu.

Kami tidak menyukainya. Geram melihat beliau. Paling minimal, kami mengucapkan 'ck' sebagai ekspresi kekecewaan dan kesebalan. Dan beliau tahu banyak santri tidak menyukainya. Namun, beliau tetap tegas.

Sekali lagi, saya dahulu tidak menyukai orang ini. Dan ketika beliau tak lagi ada di pondok kami, yaitu ketika saya duduk di bangku SMA [I'dad Mu'alimiin], saya malah bersyukur.

Saya pun lulus. Keluarlah dari pondok.

3 tahun setelah lulus, tahun 2008, saya bersama teman-teman kampus ziarah ke rumah beberapa teman. Lalu saya sempatkan pula ke pondok. Di tahun itu, adik saya berjumlah 3 buah masih menimba ilmu di sana. Wajah-wajah asing cukup banyak.

Pagi itu saya di pondok. Saya bertemu dengan seorang ustadz yang dahulu ketika saya masih kelas 1 SMP berjasa sekali rela mengantarkan ke kota untuk membeli kacamata. Beliau adalah Ust. Ihya; seorang guru bela diri pondok. Beliau kini tinggal kenangan yang tak terlupa; karena telah wafat beberapa tahun lalu. Kecelakaan. Rahimahullah. Ust. Ihya, adalah orang yang pertama kali bertemu, menyambut dan membawa saya ke kantor. Beliau memeluk saya. Cipika-cipiki. Terasa getaran jenggotnya menyentuh pipi saya. Saya tentu tak tahu beberapa masa kemudian ustadz ini hanya tinggal kenangan. Rahimahullah.

Lalu ia menggiring saya masuk ke dalam kantor. Di sana bertemu Ust. Ayatullah, seorang hafidz, lulusan pondok saya. Juga bertemu Ust. Mahmud, orang yang dulu sangat tidak saya sukai. Kami bertiga berbincang.

Ust. Mahmud selalu mempertanyakan apakah saya masih suka menulis. Berulang seperti itu. Beliau tahu dahulu saya suka menulis; namun buku hasil karya tulisan saya selalu disita olehnya dan pihak Kesantrian. 'Isinya nyeleneh', kata para ustadz.

Saya berfikir untuk apa ustadz satu ini bertanya begitu? Apa perlunya? Apa peduli dia? Tapi, saya melihat sorot mata dan bahasa tubuhnya tak sedikitpun mengisyaratkan ingin mengejek atau apapun yang negatif. Justru beliau benar-benar memotivasi saya untuk menulis lagi seperti dulu. Beliau berbicara...panjang lebar. Saya mendengarkan seksama.

Masa-masa setelah lulus, saya tidak menulis. Dan ketika beliau menasihati saya, tepat di masa saya berfikir, 'Menulis tidak ada guna dan tidak ada celah dibaca kecuali di majalah...atau koran.'

Namun beliau lah orang yang memotivasi saya. Nasihat beliau saya ingat dan fikirkan selama 2 tahun lebih! Terngiang, 'Mengapa kamu masih tidak menulis?' Dan hingga kini saya tidak akan lupa ngototnya beliau memotivasi saya kala itu.

Yang akhirnya tahun 2011 saya memulainya kembali. Melihat ada celah melalui situs ini. Menulis agar dibaca manusia; bukan sekadar simpanan. Yang kini, jika ada siapapun yang mengambil manfaat dari tulisan saya, adalah pemberian Allah, dan juga tak luput, Ust. Mahmud lah yang di baliknya berjasa. Padahal dahulu, semasa saya sekolah, saya benar-benar tidak ingin melihat wajah beliau.

Lalu, hari Ahad 2 pekan lalu, saya pergi menuju Taman Mini, dengan niatan menjual karya seni emak saya. Dan memang kebetulan ada pameran pondok saya. Saya pun beranjak ke lantai dua. Bertemulah dengan stan pondok saya. Dan saya melihat Ust. Mahmud di sana, orang yang 10 tahun lalu saya tidak senangi, 4 tahun lalu memotivasi, dan tahun ini tak mengharap kembali. Pertanyaan pertama yang ia lontarkan adalah 'Antum sudah menulis, belum?'.....

Saya katakan, "Saya punya banyak tulisan sudah!"

Beliau bertanya, "Buku atau apa?"

"Bukan buku. Tulisan di Internet."

"Di mana?"

"Di Facebook."

dan sepertinya memang beliau tidak punya akun Facebook.

Sepertinya pula saya merasa beliau berhak diceritakan di sini; sebab lisan beliau lah yang pertama kali memotivasi saya untuk kembali menulis seperti dulu.

Bisa saja, kau mendapat sesuatu yang amat berharga dan membangkitkan keterpurukanmu dari orang yang dahulu kau benci.
Bisa juga, kau mendapat rasa sakit yang amat menghiris dan menurunkan segala spiritmu dari orang yang sebelumnya kau suka dan kau puja.

Bisa saja, seseorang sangat bagus merangkai kalimat sebagai nasihat, namun di mata manusia hanya sebagai kelezatan sejenak, karena memang sang perangkai tak ikhlas dalam memberi nasihat.

Bisa saja, seseorang tidak bagus merangkai kalimat nasihat, namun sorot matanya mewakili hati yang tulus memberi; membuatmu benar-benar bergumam, 'Inilah yang lama kurindukan.'

Sebagaimana Ust. Mahmud, yang beliau sendiri tak tahu tulisan ini. Beliau pun tak tahu, berawal dari motivasinya lah kini saya menulis.

Sebagaimana mungkin ayah dan ibumu, yang mungkin kau lebih pintar darinya, mereka berdua ketika menasihatimu, benar mengena. Seolah mereka tak membutuhkan lisan berbicara, tetapi cukup hati...

Semoga Allah limpahkan pahala kepada Ust. Mahmud
Semoga Allah rahmati Ust. Ihya
dan semua asaatidzah pendidik
serta merahmati kaum muslimin

0 Response to "Ustadz Mahmud + Ust Ihya [Cerita Untuk Pembaca]"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel