Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?
By: Abu Al-Jauzaa
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan bahasan ini. Satu pendapat
mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat
atau bentuknya. Jika niat atau bentuknyanya (mereka anggap) baik, maka jadilah
ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah
dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar
bid’ah. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak
dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah
secara mutlak.[1]
Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam
mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل
عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها
منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal
faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya
tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.[2]
1. Keberadaan
faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2. Ketiadaan
faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak
pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun
apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena
faktor atau sebab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga
dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor
penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan
Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu
sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr
radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi
palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur
(sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab
dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang
yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin
pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :
”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang
hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para
shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang
perlu dikumpulkan”.
Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat
dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.
Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada
huruf hijaiyyah.[3] Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya
perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda
dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian
dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada
jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi
oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan
Al-Qur’an.
Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu
dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat
setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ?
Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk
dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor
penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ?
Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at
secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan
(faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa
syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu
faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama
sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para
shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun
ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan
teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي
له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق
به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم
على الخير أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه
في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد
على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار
والذين اتبعوهم بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah
dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor
penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih
berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan
pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari
yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan.
Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan
mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan
sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu
dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu
dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan kebaikan”.[4]
Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita
ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya
yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[5] Apa indikasinya ? Faktor
pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin
agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara
itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau
tetap tidak melakukannya.[6] Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan
iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.
Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya :
”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita
jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian
beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab
radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan
bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat
dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu
sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan
kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid
:
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت
أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar
bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah),
akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian,
lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at
telah mantap[7], maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor
penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له
قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih
bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan
shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah
mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan
pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain
Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah
atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih
banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum
muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi
yang lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
[Abul-Jauzaa’ – Shaffar, 1430 di Ciomas Permai].
[1] Sebagian ikhwah
memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di
jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.
[2] Kaidah turunan
yang lebih luas dari yang di atas adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح
من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم
فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak
dilakukan oleh as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan
tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau
tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung
masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut
adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut
ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
[3] Huruf hijaiyyah
di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan
harakat.
[4] Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.
[5] Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah.
[6] Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله
صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari
Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua
kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887].
[7] Tidak ada
kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat,
karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3.
0 Response to "Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?"
Post a Comment