Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi ? (sebuah ringkasan)
Tidak dipungkiri bahwa kedudukan
para Nabi dan Rasul itu tinggi di mata Allah. Namun hal itu bukanlah sebagai
jaminan bahwa seluruh keluarga Nabi dan Rasul mendapatkan petunjuk dan keselamatan
serta aman dari ancaman siksa neraka karena keterkaitan hubungan keluarga dan
nasab. Allah telah berfirman tentang kekafiran anak Nabi Nuh ‘alaihis-salaam
yang akhirnya termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah bersama
orang-orang kafir :
وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ
وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ
* وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ
وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَنُوحُ
إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan difirmankan: "Hai bumi
telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun
disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit
Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim “. Dan Nuh berseru
kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah
Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia
bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon
kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan." [QS. Huud : 44-46].
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ
وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ
إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim
bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun”
[QS. At-Taubah : 114].
Dan Allah pun berfirman tentang
istri Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah :
فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
Kemudian Kami selamatkan dia dan
pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang
tertinggal (dibinasakan). [QS. Al-A’raf : 83].
Tidak terkecuali hal itu terjadi
pada kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Mereka berdua –
sesuai dengan kehendak kauni Allah ta’ala – mati dalam keadaan kafir. Hal itu
ditegaskan oleh beberapa nash di antaranya :
1. Al-Qur’an Al-Kariim
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi
dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Sababun-Nuzul (sebab turunnya)
ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam
kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak
mengijinkannya) [Lihat Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir QS. At-Taubah
: 113].
2. As-Sunnah Ash-Shahiihah
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ
فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah
meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang
tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka”. [HR. Muslim no. 203, Abu Dawud no. 4718, Ahmad
no. 13861, Ibnu Hibban no. 578, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 13856, Abu
‘Awanah no. 289, dan Abu Ya’la no. 3516].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata : “Di dalam hadits tersebut [yaitu hadits : إن أبي وأباك في النار
– ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat pengertian bahwa orang
yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya
dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan
manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa
orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam
penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk
pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka
telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lainshalawaatullaah wa
salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi juz 3 hal. 79 melalui
perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-Musthafaa oleh Dr. Ahmad bin
Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ
أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Dari Abi Hurairah radliyallaahu
’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan
Ia tidak mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya”
[HR. Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034,
Ibnu Majah no. 1572, dan Ahmad no. 9686].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah
berkata :
وأبواه كانا مشركين, بدليل ما أخبرنا
”Sesungguhnya kedua orang tua
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah musyrik dengan dalil apa yang telah
kami khabarkan....”. Kemudian beliau membawakan dalil hadits dalam Shahih
Muslim di atas (no. 203 dan 976) di atas [Lihat As-Sunanul-Kubraa juz 7 Bab
Nikaahi Ahlisy-Syirk wa Thalaaqihim].[1]
Al-’Allamah Syamsul-Haq ’Adhim
’Abadi berkata :
فلم يأذن لي : لأنها كافرة والاستغفار للكافرين لا يجوز
”Sabda beliau shallallaahu
’alaihi wa sallam : ”Dan Ia (Allah) tidak mengijinkanku” adalah disebabkan Aminah adalah seorang yang
kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap orang yang kafir adalah tidak
diperbolehkan” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitaabul-Janaaiz, Baab Fii
Ziyaaratil-Qubuur].[2]
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال "جاء ابنا مليكة - وهما من الأنصار
- فقالا: يَا رَسولَ الله إنَ أمَنَا كَانَت تحفظ عَلَى البَعل وَتكرم الضَيف، وَقَد
وئدت في الجَاهليَة فَأَينَ أمنَا؟ فَقَالَ: أمكمَا في النَار. فَقَامَا وَقَد شَق
ذَلكَ عَلَيهمَا، فَدَعَاهمَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَرَجَعَا، فَقَالَ:
أَلا أَنَ أمي مَعَ أمكمَا
Dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu
‘anhu ia berkata : Datang dua orang anak laki-laki Mulaikah – mereka berdua
dari kalangan Anshar – lalu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami
semasa hidupnya memelihara onta dan memuliakan tamu. Dia dibunuh di jaman
Jahiliyyah. Dimana ibu kami sekarang berada ?”. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam menjawab : “Di neraka”. Lalu mereka berdiri dan merasa berat
mendengar perkataan beliau. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memanggil keduanya lalu berkata : “Bukankah ibuku bersama ibu kalian berdua (di
neraka) ?” [Lihat Tafsir Ad-Durrul-Mantsur juz 4 halaman 298 – Diriwayatkan
oleh Ahmad no. 3787, Thabarani dalam Al-Kabiir 10/98-99 no. 10017, Al-Bazzar
4/175 no. 3478, dan yang lainnya; shahih].
3. Ijma’
Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata :
وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه
مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين
”Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia
mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallammasih berada dalam
kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa ada khilaf. Begitu pula Aminah
(tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), dimana ia mati ketika Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam berusia enam tahun” [Al-Maudlu’aat juz 1 hal.
283].
Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad
Sulthan Al-Qaari telah menukil adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dengan perkataannya :
وأما الإجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة
وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في
الإجماع السابق سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق
”Adapun ijma’, maka sungguh ulama
salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh
mujtahidin telah bersepakat tentang hal tersebut (kafirnya kedua orang tua Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam) tanpa adanya khilaf. Jika memang terdapat khilaf
setelah adanya ijma’, maka tidak mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi
sebelumnya. Sama saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’
(di era setelahnya) atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian
ia berubah pendapat menyelisihi ijma’) [Adilltaul-Mu’taqad Abi Haniifah hal. 7
- download dari www.alsoufia.com].
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah
berkata :
ووالدا رسول الله مات على الكفر
”Dan kedua orang tua Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam mati dalam keadaan kafir” [Al-Adillatul-Mu’taqad
Abi Haniifah hal. 1 – download dari www.alsoufia.com].
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari
rahimahullah berkata dalam Tafsirnya ketika menjelaskan QS. Al-Baqarah : 119 :
فإن فـي استـحالة الشكّ من الرسول علـيه السلام فـي أن أهل الشرك من أهل
الـجحيـم, وأن أبويه كانا منهم
”Semua ini berdasar atas
keyakinan dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa orang-orang
musyrik itu akan masuk Neraka Jahim dan kedua orang tua Rasulullahshallallaahu
’alaihi wasallam termasuk bagian dari mereka”.
Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata
ketika berhujjah dengan hadits ” Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku
untuk memintakan ampun ibuku” ; yaitu berdasarkan kenyataan bahwa Aminah
bukanlah seorang wanita mukminah” [Al-Maudlu’aat juz 1 hal. 284].
Beberapa imam ahli hadits pun
memasukkan hadits-hadits yang disebutkan di atas dalam Bab-Bab yang tegas
menunjukkan fiqh (pemahaman) dan i’tiqad mereka tentang kekafiran kedua orang
tua Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam. Misalnya, Al-Imam Muslim memasukkannya
dalam Bab [بيان أن من مات على الكفر فهو في النار
ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين] “Penjelasan bahwasannya siapa saja meninggal dalam kekafiran
maka ia berada di neraka dan ia akan memperoleh syafa’at dan tidak bermanfaat
baginya hubungan kekerabatan”. Al-Imam Ibnu Majah memasukkannya dalam Bab [ما جاء في زيارة قبور المشركين] ”Apa-Apa yang Datang Mengenai Ziyarah ke
Kubur Orang-Orang Musyrik”. Al-Imam An-Nasa’i memasukkannya dalam Bab [زيارة قبر المشرك] ”Ziyarah ke Kubur Orang-Orang Musyrik. Dan yang lainnya.
Keterangan di atas adalah hujjah
yang sangat jelas yang menunjukkan kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam. Namun, sebagian orang-orang yang datang belakangan menolak
’aqidah ini dimana mereka membuat khilaf setelah adanya ijma’ (tentang
kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam). Mereka
mengklaim bahwa kedua orang tua beliau termasuk ahli surga. Yang paling
menonjol dalam membela pendapat ini adalah Al-Haafidh As-Suyuthi. Ia telah
menulis beberapa judul khusus yang membahas tentang status kedua orang tua Nabi
seperti : Masaalikul-Hunafaa fii Waalidayal-Musthafaa, At-Ta’dhiim wal-Minnah
fii Anna Abawai Rasuulillah fil-Jannah, As-Subulul-Jaliyyah
fil-Aabaail-’’Aliyyah, dan lain-lain.
Bantahan terhadap Syubuhaat
1. Mereka menganggap bahwa kedua orang tua
nabi termasuk ahli fatrah sehingga mereka dimaafkan.
Kita Jawab :
Definisi fatrah menurut bahasa
kelemahan dan penurunan [Lisaanul-’Arab oleh Ibnul-Mandhur 5/43]. Adapun secara
istilah, maka fatrah bermakna tenggang waktu antara dua orang Rasul, dimana ia
tidak mendapati Rasul pertama dan tidak pula menjumpai Rasul kedua”
[Jam’ul-Jawaami’ 1/63]. Hal ini seperti selang waktu antara Nabi Nuh dan Idris
’alaihimas-salaam serta seperti selang waktu antara Nabi ’Isa ’alaihis-salaam
dan Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam. Definisi ini dikuatkan oleh firman
Allah ta’ala :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى
فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya
telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika
terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: "Tidak
datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi
peringatan" [QS. Al-Maaidah : 19].
Ahli fatrah terbagi menjadi dua
macam :
a. Yang telah sampai kepadanya ajaran Nabi.
b. Yang tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah
Nabi dan dia dalam keadaan lalai.
Golongan pertama di atas dibagi
menjadi dua, yaitu : Pertama, Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid
serta tidak berbuat syirik. Maka mereka dihukumi seperti
ahlul-islam/ahlul-iman. Contohnya adalah Waraqah bin Naufal, Qus bin Saa’idah,
Zaid bin ’Amr bin Naufal, dan yang lainnya. Kedua, Yang tidak sampai kepadanya
dakwah namun ia merubah ajaran dan berbuat syirik. Golongan ini tidaklah
disebut sebagai ahlul-islam/ahlul iman. Tidak ada perselisihan di antara ulama
bahwa mereka merupakan ahli neraka. Contohnya adalah ’Amr bin Luhay[3],
Abdullah bin Ja’dan, shahiibul-mihjan, kedua orang tua Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam, Abu Thalib, dan yang lainnya.
Golongan kedua, maka mereka akan
diuji oleh Allah kelak di hari kiamat.
Kedua orang tua Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wa sallam memang termasuk ahli fatrah, namun telah sampai
kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam. Maka, mereka tidaklah
dimaafkan akan kekafiran mereka sehingga layak sebagai ahli neraka.
2. Hadits-hadits yang menceritakan tentang
dihidupkannya kembali kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam
ke dunia, lalu mereka beriman kepada ajaran beliau.
Di antara hadits-hadits tersebut
adalah :
عن عائشة رضي الله عنها قالت: حج بنا رسول الله حجة الوداع ، فمرّ بي
على عقبة الحجون وهو باكٍ حزين مغتم فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرِحٌ مبتسم
، فقلت له فقال : ذهبت لقبر أمي فسألت الله أن يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله
Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa
ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam melakukan haji bersama
kami dalam haji wada’. Beliau melewati satu tempat yang bernama Hajun dalam
keadaan menangis dan sedih. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wasallam turun dan
menjauh lama dariku kemudian kembali kepadaku dalam keadaan gembira dan
tersenyum. Maka akupun bertanya kepada beliau (tentang apa yang terjadi), dan
beliau pun menjawab : ”Aku pergi ke kuburan ibuku untuk berdoa kepada Allah
agar Ia menghidupkannya kembali. Maka Allah pun menghidupkannya dan
mengembalikan ke dunia dan beriman kepadaku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Syahin
dalam An-Nasikh wal-Mansukh no. 656, Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222, dan
Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat 1/283-284].
Hadits ini tidak shahih karena
perawi yang bernama Muhammad bin Yahya Az-Zuhri dan Abu Zinaad. Tentang Abu
Zinaad, maka telah berkata Yahya bin Ma’in : Ia bukanlah orang yang dijadikan
hujjah oleh Ashhaabul-Hadiits, tidak ada apapanya”. Ahmad berkata : ”Orang yang
goncang haditsnya (mudltharibul-hadiits)”. Berkata Ibnul-Madiinii : ”Menurut
para shahabat kami ia adalah seorang yang dla’if”. Ia juga berkata pula : ”Aku
melihat Abdurrahman bin Mahdi menulis haditsnya”. An-Nasa’i berkata :
”Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah”. Ibnu ’Adi berkata : ”Ia termasuk
orang yang ditulis haditsnya” [silakan lihat selengkapnya dalam Tahdzibut-Tahdzib].
Ringkasnya, maka ia termasuk perawi yang ditulis haditsnya namun riwayatnya
sangat lemah jika ia bersendirian.
Adapun Muhammad bin Yahya
Az-Zuhri, maka Ad-Daruquthni berkata : ”Matruk”. Ia juga berkata :
”Munkarul-Hadits, ia dituduh memalsukan hadits” [lihat selengkapnya dalam
Lisaanul-Miizaan 4/234].
Dengan melihat kelemahan itu,
maka para ahli hadits menyimpulkan sebagai berikut : Ibnul-Jauzi dalam
Al-Maudlu’aat (1/284) berkata : ”Palsu tanpa ragu lagi”. Ad-Daruquthni dalam
Lisaanul Mizan (biografi ’Ali bin Ahmad Al-Ka’by) : ”Munkar lagi bathil”. Ibnu
’Asakir dalam Lisanul-Mizan (4/111) : ”Hadits munkar”. Adz-Dzahabi berkata
(dalam biografi ’Abdul-Wahhab bin Musa) : ”Hadits ini adalah dusta”.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا
كان يوم القيامة شفعت لأبي وأمي وعمي أبي طالب وأخ لي كان في الجاهلية
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu
’anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
”Pada hari kiamat nanti aku akan memberi syafa’at kepada ayahku, ibuku, pamanku
Abu Thalib, dan saudaraku di waktu Jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Tamam Ar-Razi
dalam Al-Fawaaid 2/45].
Hadits ini adalah palsu karena
rawi yang bernama Al-Waliid bin Salamah. Ia adalah pemalsu lagi ditinggalkan
haditsnya [lihat Al-Majruhiin oleh Ibnu Hibban 3/80 dan Mizaanul-I’tidaal oleh
Adz-Dzahabi 4/339]. Pembahasan selengkapnya hadits ini dapat dibaca dalam
Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Ma’udluu’ah oleh Asy-Syaikh Al-Albani
no. 322.
عن علي مرفوعاً : « هبط جبريل علي فقال إن الله يقرئك السلام ويقول إني
حرمت النار على صلبٍ أنزلك وبطنٍ حملك وحجرٍ كفلك
Dari ’Ali radliyallaahu ’anhu
secara marfu’ : ”Jibril turun kepadaku dan berkata : ’Sesungguhnya Allah
mengucapkan salaam dan berfirman : Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang
rusuk yang telah mengeluarkanmu (yaitu Abdullah), perut yang mengandungmu
(yaitu Aminah), dan pangkuan yang merawatmu (yaitu Abu Thalib)” [Diriwayatkan
oleh Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222-223 dan Ibnul-Jauzi dalam
Al-Maudlu’aat 1/283].
Hadits ini adalah palsu (maudlu’)
tanpa ada keraguan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat
(1/283) dan Adz-Dzahabi dalam Ahaadiitsul-Mukhtarah no. 67.
Dan hadits lain yang senada yang
tidak lepas dari status sangat lemah, munkar, atau palsu.
3. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang
kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dinasakh (dihapus)
oleh hadits-hadits yang menjelaskan tentang berimannya kedua orang tua beliau.
Kita jawab :
Klaim nasakh hanyalah diterima
bila nash naasikh (penghapus) berderajat shahih. Namun, kedudukan haditsnya
yang dianggap naasikh adalah sebagaimana yang kita lihat (sangat lemah, munkar,
atau palsu). Maka bagaimana bisa diterima hadits shahih di-nasakh oleh hadits
yang kedudukannya sangat jauh di bawahnya ? Itu yang pertama. Adapun yang
kedua, nasakh hanyalah ada dalam masalah-masalah hukum, bukan dalam masalah
khabar. Walhasil, anggapan nasakh adalah anggapan yang sangat lemah.
Pada akhirnya, orang-orang yang
menolak hal ini berhujjah dengan dalil-dalil yang sangat lemah. Penyelisihan
dalam perkara ini bukan termasuk khilaf yang diterima dalam Islam (karena tidak
didasari oleh hujjahyang kuat). Orang-orang Syi’ah berada pada barisan terdepan
dalam memperjuangkan pendapat bathil ini. Di susul kemudian sebagian habaaib
(orang yang mengaku keturunan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam) dimana
mereka menginginkan atas pendapat itu agar orang berkeyakinan tentang kemuliaan
kedudukan mereka sebagai keturunan Rasulullah. Hakekatnya, motif dua golongan
ini adalah sama. Kultus individu.
Keturunan Nabi adalah nasab yang
mulia dalam Islam. Akan tetapi hal itu bukanlah jaminan – sekali lagi – bahwa
mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Allah hanya
akan menilai seseorang – termasuk mereka yang mengaku memiliki nasab mulia –
dari amalnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya,
maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya” [HR. Muslim – Arba’un Nawawiyyah no. 36].
Kesimpulan : Kedua orang tua Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam adalah meninggal dalam keadaan kafir. Wallaahu
a’lam.
[direvisi dan diperbaiki tanggal
11-5-2011].
[1] Perkataan Imam Al-Baihaqi tentang
kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga dapat
ditemui dalam kitab Dalaailun-Nubuwwah juz 1 hal. 192, Daarul-Kutub, Cet. I,
1405 H, tahqiq : Dr. Abdul-Mu’thi Al-Qal’aji].
[2] Karena ibu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam termasuk orang-orang kafir. Allah telah melarang Nabi
shallallaahu ‘alaihi was allam dan kaum mukminin secara umum untuk memintakan
ampun orang-orang yang meninggal dalam keadaan kafir sebagaimana firman-Nya :
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
[3] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
ia berkata :
قال النبي صلى الله عليه وسلم رأيت عمرو بن عامر بن لحي الخزاعي يجر قصبه
في النار وكان أول من سيب السوائب
Telah berkata Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku
melihat ‘Amru bin ‘Amir bin Luhay Al-Khuzaa’i menarik-narik ususnya di neraka.
Dia adalah orang pertama yang melepaskan onta-onta (untuk dipersembahkan kepada
berhala)” [HR. Bukhari no. 3333 – tartib maktabah sahab, Muslim no. 2856].
Nisbah Al-Khuzaa’i merupakan
nisbah kepada sebuah suku besar Arab, yaitu Bani Khuza’ah. Ibnu Katsir
menjelaskan sebagai berikut :
عمرو هذا هو ابن لحي بن قمعة, أحد رؤساء خزاعة الذين ولوا البيت بعد جرهم
وكان أول من غير دين إبراهيم الخليل, فأدخل الأصنام إلى الحجاز, ودعا الرعاع من الناس
إلى عبادتها والتقرب بها, وشرع لهم هذه الشرائع الجاهلية في الأنعام وغيرها
“‘Amru bin ‘Amir bin Luhay
Al-Khuza’i merupakan salah satu pemimpin Khuza’ah yang memegang kekuasaan atas
Ka’bah setelah Kabilah Jurhum. Ia adalah orang yang pertama kali mengubah agama
Ibrahim (atas bangsa Arab). Ia memasukkan berhala-berhala ke Hijaz, lalu
menyeru kepada beberapa orang jahil untuk menyembahnya dan bertaqarrub
dengannya, dan ia membuat beberapa ketentuan jahiliyyah ini bagi mereka yang
berkenaan dengan binatang ternak dan lain-lain……” [lihat Tafsir Ibnu Katsir
2/148 QS. Al-Maidah ayat 103].
0 Response to "Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi ? (sebuah ringkasan)"
Post a Comment