Islamkah Orang Tua Nabi -Shallallahu Alaihi Wa Sallam-?
عن عائشة قالت: حج بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم حجة الوداع فمر بي على عقبة
الحجون، وهو باك حزين مغتم، فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرح مبتسم، فقلت
له؟ فقال: ذهبت لقبر أمي فسألت الله يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله
Dari Aisyah radhiyallahu
anha, ia berkata: “Pada saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
melaksanakan haji bersama kami, beliau bertemu denganku di Aqabah Hajun sambil
menangis sedih, lalu beliau turun dan tinggal cukup lama kemudian kembali lagi
kepadaku dengan gembira dan senyum, maka aku tanyakan hal itu padanya, lalu
beliau menjawab, “Aku pergi ke kuburan ibuku, lalu aku memohon kepada Allah
agar menghidupkannya, kemudian ibuku beriman kepadaku, lalu Allah mematikannya
kembali.”
MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan Ibnu Syahin dalam An-Naasikh
wa Al-Mansuukh, no. 656, Al-Jauraqany dalam Al-Abaathil wa Al-Manaakir
(I/222), Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhuu’aat (I/283-284)
Ibnul Jauzy berkata, “Maudhu’
tanpa diragukan lagi! Ibunda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat
di kota Abwa antara kota Madinah dan Makkah seta dikubur di sana, bukan di
Hajun!”
Imam Adz-Dzahaby berkata,
“Hadits ini dusta dan bertentangan dengan hadits shahih bahwa
beliau meminta izin kepada Rabb-nya untuk memintakan ampun untuk ibunya tetapi
Allah tidak mengizinkannya.”[1]
Syaikh Ali bin Sulthan
Al-Qari berkata, “Hadits ini lemah dengan kesepakatan ahli hadits
sebagaimana diakui oleh As-Suyuthy.”[2]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak shahih menurut Ahli Hadits, bahkan mereka
bersepakat bahwa hadits ini adalah dusta sekalipun diriwayatkan dengan sanad
para perawi yang tidak dikenal. Tidak ada perselisihan di kalangan ahli hadits
bahwa hadits tersebut adalah palsu dan sangat nyata kedustaannya.
Seandainya kejadian tersebut benar-benar terjadi, niscaya akan banyak dinukil
karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua segi:
Pertama: Segi menghidupkan orang yang telah
meninggal dunia.
Kedua: Segi keimanan setelah mati.
Hadits ini di samping
palsu, juga bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’.”[3]
Faedah: Syaikh Al-Albany berkata tentang hadits
ini, “Ini adalah kisah yang bathil menurut para pakar ulama seperti
Ibnul Jauzy, Ibnu Taimiyyah dan selainnya. Di antara yang membuatnya bathil
adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang yang
bertanya tentang ayahnya, “Ayahku dan ayahmu di Neraka”.
Hadits ini shahih[4] sekalipun
As-Suyuthy dalam sebagian risalahnya[5] telah
memberatkan diri untuk mementahkannya. Alangkah bagusnya ucapan Syaikh
Abdurrahman Al-Yamany ketika mengomentari hadits ini dalam Al-Fawaa’id
Al-Majmuu’ah (hal. 322) oleh Asy-Syaukaany, “Seringkali kecintaan
seseorang tak terkendalikan sehingga ia menerjang hujjah serta memeranginya,
padahal orang yang diberi taufiq mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan
kecintaan yang disyariatkan.”[6]
Alangkah bagusnya ucapan
Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy tatkala berucap, “Termasuk kegilaan, bila orang
yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi
Allah, seandainya hadits tentang Islamnya kedua orang tua Nabi adalah shahih,
niscaya kami adalah orang yang paling bahagia dengannya. Bagaimana tidak?
Sedangkan mereka adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi
saksi atas apa yang saya ucapkan ini. Tetapi tidaklah kita membangun suatu
ucapan tanpa ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia melangkahi
dalil yang shahih dan menerjang hujjah. Wallahu al-musta’aan.”[7]
Sumber: “Koreksi
Hadit-hadits Dha’if Populer” karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi”
Diketik ulang oleh Hasan
Al-Jaizy
[4] Lihat kembali tulisan Ustadz Abu Ubaidah
As-Sidawy “Aqidah Salaf Tentang Kedua Orang Tua Nabi” dalam Majalah
Al-Furqon edisi 7, tahun II.
[5] Seperti dalam risalahnya Masaalik
Al-Hunafaa’ fi Waalidai Al-Musthafa, At-Ta’zhiim wa Al-Minnah fi Anna Abawai
Ar-Rasuul fi Al-Jannah, dan lain sebagainya. (Lihat taqdim Syaikh
Masyhur atas Adillah Mu’taqad Abi Hanifah (hal. 5), Al-Haawy li
Al-Fataawy (II/352) karya As-Suyuthy, dan Mu’allafaat As-Suyuuthy
Al-Makhthuuthah (hal. 48)).
[6] Muqaddimah Bidaayah As-Suul fi
Tafdhiir Ar-Rasuul, Al-Izz bin Abdis Salaam, hal. 16-17. Lihat pula Shahiih
Siirah Nabawiyyah, hal. 24-27, dan Silsilah Ash-Shahiihah, no. 2592,
keduanya karya Al-Albany.
0 Response to "Islamkah Orang Tua Nabi -Shallallahu Alaihi Wa Sallam-?"
Post a Comment