Menjadi muslim yang cerdas

http://gelumbang.com
Sebagaimana seorang bila ingin mencapai keberhasilan dunia dia harus bekerja bukan hanya dengan kesungguhan tetapi juga dengan kecerdasan, pun demikian juga dengan seorang hamba bila dia mengharapkan syurga tertinggi maka dia juga wajib memiliki kesungguhan dan kecerdasan dalam beribadah.

إنَّ في الجنةِ مائةَ درجةٍ ، أعدَّها اللهُ للمجاهدين في سبيلِه ، كلُّ درجتيْنِ ما بينهما كما بين السماءِ والأرضِ ، فإذا سألتم اللهَ فسلُوهُ الفردوسَ ، فإنَّهُ أوسطُ الجنةِ ، وأعلى الجنةِ ، وفوقَه عرشُ الرحمنِ ، ومنه تَفجَّرُ أنهارُ الجنةِ

“Surga itu ada 100 tingkatan, yang dipersiapkan oleh Allah untuk para Mujahid di jalan Allah. Jarak antara dua surga yang berdekatan sejauh jarak langit dan bumi. Dan jika kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena itulah surga yang paling tengah dan paling tinggi yang di atasnya terdapat Arsy milik Ar Rahman, darinya pula (Firdaus) bercabang sungai-sungai surga” (HR. Al Bukhari 2790)

Walaupun perlu diketahui bahwa surga tidaklah didapatkan karena/sebagai ganti amalan-amalan kita. Surga didapatkan lebih karena Rahmat dan kasih sayang Alloh semata. Hanyasanya rahmat dan kasih sayang Alloh tersebut tidaklah didapat kecuali dengan kepatuhan dan ketundukan terhadap perintah-perintahnya, dengan melaksanakan amalan-amalan kebaikan.

لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ أَحَدٌ بِعَمَلِهِ قِيْلَ وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ

"Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya. Ditanyakan, “Sekali pun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekali pun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” (HR. Bukhari 5673, Muslim 2816)

Mengapa perlu menjadi muslim/abid yang cerdas?
1.    Keterbatasan kemampuan kita dalam melaksanakan semua jenis ibadah.
2.    Keterbatasan waktu kita, yang 5 jam seharinya digunakan untuk tidur.

Maka perlulah memilih, amalan mana yang mendatangkan banyak pahala lagi mudah untuk dilakukan.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjadi muslim yang cerdas:

1.    Mengetahui hal-hal yang menyebabkan diterimanya suatu amal.

a.    Ikhlasnya niat.

Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab)

b.    Benarnya amalan (Ittiba bi sunnah).

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدّ
وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.

2.    Mendahulukan amalan yang hukumnya wajib dibandingkan yang selainnya.

Misal: Mendahulukan memenhui panggilan orang tua, dibandingkan sholat sunnah.

عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «إِنَّ اللهَ تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ لَأُعِيْذَنَّهُ».

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”

3.    Mendahulukan amalan-amalan sesuai dengan prioritasnya.

Misal: Berinfak/bershodaqoh

a.    Mencukupi Keluarga (Anak, Istri)
b.    Kerabat dekat
c.    Tetangga yang kerabat
d.   Tetangga yang dekat
e.    Tetangga yang jauh.

Memilih mana yang paling membutuhkan.

4.    Mendahulukan amalan yang sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan.
Amalan itu ada yang pelaksanaannya umum, tidak dibatasi waktu dan tempat Ada yang pelaksanaannya diberikan petunjuk waktu atau tempatnya. Misal puasa: puasa yang umum, ada puasa yang khusus, senin dan kamis, asyuro, dawud.

5.    Mendahulukan amalan yang pahalanya berkelanjutan:
a.    Ilmu yang bermanfaat;
b.    Sedekah maal jariah;
c.    Anak sholeh.

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”

6.    Meniatkan amalan yang pada asalnya untuk dunia, diniatkan juga untuk akhirat.

Misal: bekerja,
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ «إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ» صحيح البخاري - مكنز (1/ 107، بترقيم الشاملة آليا)

Artinya: “sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kamu tidak menafkahkan sebuah nafkah, berharap darinya wajah Allah melainkan kamu akan diberikan pahala atasnya, sampai apa yang kamu suapkan ke dalam mulut istrimu.” HR. Bukhari.

7.    Istiqomah dalam beramal walaupun sedikit dan ringan.

Baik itu shodaqoh, sholat, puasa, dzikir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

8.    Tidak meremehkan amalan yang sepertinya kecil di mata manusia.

Seperti senyum, menyingkirkan duri dari jalan.
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Janganlah engkau meremehkan sedikit pun kebaikan meskipun hanya sekedar jika engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang cerah.” (HR Muslim (IV/2026) no (2626), Abu Dawud (IV/350) no (5193), dan at-Tirmidzi (V/52) no (2688).

9.  “Berdoa kepada Alloh agar menjadikan kita, sebagai hamba-hamba yang cerdas dalam beramal. Karenapun kita bisa beramal, tidak lebih dengan kemudahan, kekuatan yang Alloh berikan.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ رَبُّنَا قَرِيبٌ فَنُنَاجِيهِ ؟ أَوْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ

“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdo’a ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas. (Majmu’ Al Fatawa, 35/370)
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdo’a (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ Al Fatawa, 5/247)

Dari pemaparan di atas, maka untuk menjadi hamba yang cerdas, perlu pemahaman terhadap agama ini secara mendalam, dan tentunya untuk mendapatkan pemaahaman yang mendalam hanya dengan menuntut ilmu dalam waktu yang panjang.

Bukan hanya Wajib Belajar 9 Tahun, tapi Wajib Belajar agama seumur hidup. Fasilitas di depan mata, internet, buku, kajian-kajian syariah di mana-mana, pilihlah mana yang mudah untuk dilaksanakan, semoga Alloh memudahkan kita.


Waallohu’alam 

0 Response to "Menjadi muslim yang cerdas"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel